Setiap kota pasti memiliki asal usul, sebuah cerita rakyat yang
berkembang dari mulut ke mulut. Begitupun dengan kotaku. Ada yang
bilang, asal usul Situbondo dimulai dari nama seorang pangeran asal
Madura yang bernama Aryo Gajah Situbondo, yang makamnya ditemukan di
wilayah kota. Ada juga cerita rakyat dengan versi berbeda. Katanya, nama
Situbondo berasal dari kata siti bondo, yang berarti tanah yang
mengikat, untuk menegaskan bahwa daerah ini menarik setiap pendatang
yang tiba untuk menetap di tanah tumpah darahku. Menurut beberapa orang,
dulu Situbondo merupakan suatu situ atau danau yang besar.
Di zaman kejayaan kerajaan kerajaan Jawa dahulu Situbondo merupakan
bagian dari konflik konflik perebutan wilayah dan kekuasaan Majapahit,
Blambangan dan di daerah inilah diyakini perang Paregreg sebagai bagian
dari kehancuran Majapahit terjadi.
Hmmm.. Tak ada yang pernah menceritakan tentang kerajaan KETA padaku.
Padahal, aku sungguh ingin mengetahuinya, sebab yang aku tahu hanya
samar-samar saja.
Pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan
anti-orang keturunan Tionghoa di kabupaten Situbondo, di Jawa Timur.
Waktu itu aku masih SMP dan aku melihatnya. Itu adalah suasana yang
sangat tidak menyenangkan. Dalam hati, aku selalu berdoa. Semoga tidak
terulang kejadian yang sama, karena hal itu sangatlah menyebalkan.
Ketika aku kuliah di Fakultas Sastra UJ dan telah berkenalan dengan
dunia internet, aku mencoba mencari sendiri tentang sejarah kota
kecilku. Dan inilah yang aku dapatkan.
Sejarah Silam Panarukan
Panarukan adalah salah satu bandar kuno yang telah mempermainkan
peranannya sejak berabad-abad yang lampau. Itu disebabkan di kawasan
Panarukan (sekarang Situbondo) terdapat pelabuhan-pelabuhan penting
seperti Panarukan, Kalbut dan Jangkar. Bahkan kota Panarukan pada abad
ke-14 merupakan salah satu pangkalan penting bagi kerajaan Majapahit. Di
Panarukan sudah berdiri kerajaan Keta (nama itu abadi sebagai desa
Ketah di kecamatan Suboh, Situbondo).
Yess, akhirnya kutemukan juga cerita tentang Keta. Konon, untuk merebut
Keta - sebagaimana dituturkan dalam Negarakretagama pupuh XLIX/3 –
Majapahit melakukannya dengan kekuatan senjata. Itu adalah saat dimana
Gajah Mada masih belum diangkat menjadi patih oleh Tribuwana Tunggadewi.
Jika mengikuti catatan Kerajaan Sadeng (di Puger - Jember), penumpasan
Keta oleh Majapahit dilakukan pada 1331 Masehi.
Kawasan Situbondo di masa silam termasuk ke dalam wilayah Wirabhumi.
Dilihat dari segi nama, dapat diasumsikan bahwa penduduk di kawasan
Wirabhumi adalah orang-orang yang memiliki sifat ksatria yang gagah
perkasa dan tidak gampang tunduk kepada siapa saja yang ingin menguasai
mereka. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harga diri dan
kehormatan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang ingin merdeka dari
tekanan siapa pun yang datang dari luar.
Wew, semoga itu tidak menjadikanku narsis.
Tercatat oleh sejarah (meski kadang samar), bahwa di daerah Wirabhumi
ini telah sering pecah peperangan. Perang terbesar yang pada gilirannya
meruntuhkan Majapahit, yakni Perang Paregreg terjadi di kawasan ini.
Sejak kekuatan Bhre Wirabhumi dihancurkan Wikramawardhana dalam Perang
Paregreg, daerah Wirabhumi seperti “terlepas” dari kontrol Majapahit.
Rakyat di daerah itu menyusun sejarahnya sendiri. Bahkan saat agama
Islam sudah menyebar di pulau Jawa abad ke-16, kawasan Wirabhumi
sepertinya tetap berada di dalam cengkeraman raja-raja lokal yang masih
beragama Hindu.
Berikut adalah kronik kejadian di Panarukan, dilihat dari kisaran tahun-tahun tertentu:
1. 1535 - Ada seorang musafir Portugis bernama Galvao
mengunjungi Panarukan. Galvao mencatat bahwa masyarakat di kawasan itu
masih beragama Hindu. Seminggu sebelum kedatangannya, demikian Galvao,
ia mendengar cerita bahwa ada seorang janda yang baru saja membakar diri
untuk ikut mati bersama suaminya.
2. 1546 - Sultan Trenggana dari Demak menyerang
Panarukan dan beliau gugur dalam serangan tersebut. Sekalipun harus
ditebus dengan gugurnya Sultan Trenggana, namun Demak berhasil menguasai
wilayah Panarukan. Agama Islam pun mulai berkembang di Panarukan.
3. 1575 - Panarukan direbut oleh raja Blambangan, Santaguna, yang masih beragama Hindu. Itu dilakukan secara tiba-tiba.
4. 1579 - Seorang romo Jezuit, Bernardino Ferrari
mengunjungi Panarukan untuk melayani orang-orang Portugis yang tinggal
di situ. Ia berlayar dengan kapal Portugis yang berpangkalan di Malaka.
Di kota pelabuhan itu ia mendapat sambutan ramah. Raja Santaguna bahkan
meminta, dengan perantaraan perutusan, supaya lebih banyak misionaris
dikirim.
5. 1585 - Romo-romo kelompok biarawan Capucijn dari
Malaka yang beroperasi juga di Blambangan berhasil mentahbiskan seorang
“imam berhala”, saudara sepupu raja “kafir” (Santaguna) di situ menjadi
orang Kristen. Beberapa waktu berselang, bangsawan yang telah
dikristenkan itu dibunuh oleh rakyat (De Graef, l986).
6. 1596 - raja Pasuruan melakukan serangan ke Panarukan
yang saat itu dirajai oleh keturunan Raja Santaguna yang dipertahankan
pasukan-pasukan dari Bali pimpinan Jelantik. Dalam suatu pertempuran
yang sengit, pasukan Islam berhasil meraih kemenangan bahkan berhasil
menewaskan Jelantik.
7. 1600 - Sejak tahun 1600 (begitu menurut catatan sejarah) Panarukan telah menjadi Islam.
8. Pada perempat akhir abad 16, menurut catatan sejarah
daerah Situbondo tepatnya di sekitar Demung dan Ketah telah dijadikan
ajang pertempuran akibat pertarungan antar kepentingan kelompok yang
bersengketa dalam upaya merebut kekuasaan Mataram dari Amangkurat I.
Dalam pertempuran itu, kekuatan Mataram yang berada di bawah perintah
Amangkurat I berhadapan dengan pejuang Makassar yang secara rahasia
berada di bawah perintah Adipati Anom, putera mahkota.
9. 25 Januari 1674 - Menurut catatan Belanda dalam
Daghregister, Demung dekat Panarukan telah dijadikan benteng pertahanan
oleh pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Sejak
Oktober 1674, orang-orang Makasar itu ditengarai telah menjadikan Demung
sabagai tempat tinggalnya.
10. Di akhir tahun 1674 - Dalam catatan sejarah
diketahui bahwa orang-orang Makassar dari pangkalannya di Demung telah
melakukan penyerangan ke kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa Timur.
Kota pelabuhan Gerongan yang merupakan pelabuhan beras, misalnya, dalam
waktu singkat dikuasainya. Mereka bahkan membunuh awak perahu milik
warga Batavia Struys. Anehnya, para pejabat Mataram di kawasan pantai
utara tak menunjukkan reaksi melihat daerahnya dilanda kerusuhan.
11. Menurut De Graaf (l987) Pangeran Adipati Anom
rupanya telah memberikan perintah agar para pejabat Jawa tidak mengambil
tindakan terhadap orang-orang Makassar yang melakukan penyerangan dan
perampasan itu. Kepatuhan para penguasa setempat — yakni bupati-bupati
di daerah Surabaya dan Gresik — atas perintah Pangeran Adipati Anom itu
ternyata berakibat fatal. Sebab Sunan Amangkurat I kemudian
memerintahkan agar para pejabat itu dibunuh.
Sejarah memang mencatat bahwa dalam proses suksesi atas kekuasaan
Amangkurat I itu, telah terjadi berbagai macam rekayasa politik yang
mengorbankan nyawa rakyat kecil yang terombang-ambing oleh
ketidak-pastian angin kekuasaan. Para pejabat daerah setingkat bupati
dihadapkan pada pilihan untuk patuh pada dua jalur perintah yang
bertolak-belakang yakni perintah dari putera mahkota dan perintah sunan.
Akibat dari manuver politik yang makin lama makin transparan itu,
Pangeran Adipati Anom pada gilirannya dituduh mau merebut kekuasaan
selagi ayahandanya masih berkuasa. Karena itu, ia dibenci oleh Sunan
yang sudah tua itu, dan adiknya Pangeran Singasari ditetapkan sebagai
pengganti ayahnya. Pangeran Puger dan Pangeran Sampang, memang telah
menyatakan dukungan terhadap Pangeran Adipati Anom sebagai pengganti
ayahnya, tetapi banyak pangeran lain yang bersumpah akan mendukung
keputusan Sunan.
Kekisruhan situasi akibat proses suksesi dewasa itu berlangsung di
mana-mana. Kekacauan yang pecah di pedalaman Jawa Timur dan sebagian
Jawa Tengah, dikendalikan oleh Trunojoyo yang berpangkalan di Kediri.
Sedang kekacauan di pantai utara Jawa Timur dan sebagaian Jawa Tengah
dikendalikan oleh orang-orang Makassar di bawah Karaeng Bonto Marannu,
Karaeng Galesong, Karaeng Tallo, dan sebagainya.
Menurut Jonge (dalam De Graaf, 1987) Sunan Amangkurat I yang marah
karena merasa dikhianati putera mahkota itu mengirimkan 100 perahu
perang ke Demung dengan membawa pasukan ribuan orang. Pasukan dipimpin
Raden Prawirataruna dan Rangga Sidayu. Kekuatan laut Mataram itu
kemudian bergabung dengan armada Belanda pimpinan Jan Franszen. Dan
antara 17 - 24 Mei 1676 terjadi pertempuran antara pasukan Jan Franszen
dengan pasukan Makassar di Demung. Sedang pasukan Rangga Sidayu
bertempur di Keta. Namun dalam serbuan itu, pihak Mataran mengalami
kehancuran dan panglima-panglima perangnya tewas dengan cara
mengenaskan.
Rekayasa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati Anom untuk merebut
kekuasaan ayahandanya itu pada akhirnya memang berhasil sukses. Sebab
setelah terjadi kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya
marak ke ibukota Mataram hingga Amangkurat I yang rambutnya sudah penuh
uban itu mengungsi dan kemudian mati di Wanayasa tepatnya di Tegalwangi
sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Jawi, maka Pangeran Adipati Anom
diangkat menjadi raja Mataram. Namun dalam catatan Valentijn (dalam De
Graaf, 1987) disebutkan bahwa untuk mempercepat matinya Sunan Amangkurat
I dalam pengungsian itu, putera mahkota yakni Pangeran Adipati Anom
telah memberikan sebutir pil.
Terlepas dari keberhasilan Pangeran Adipati Anom dalam melakukan
rekayasa untuk merebut kekuasaan dari ayahnya, yang jelas akibat dari
rekayasa itu adalah kehancuran daerah di sekitar Demung dan Ketah akibat
perang dan kerusuhan. Bahkan tidak terhitung berapa jumlah korban yang
harus mati dalam rekayasa itu. Yang jelas, korban itu umumnya adalah
rakyat pedesaan dan prajurit-prajurit rendahan.